
KANAL31.COM-Penulis mulai mengenalnya saat duduk di semester 3 dan dia Prof. DR Bambang Q Anees M.Ag adalah mahasiswa baru jurusan Aqidah dan Filsafat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung. Masa-masa orientasi mahasiswa baru kala itu tahun 1993, BQ (panggilan akrab Bambang Q Anees mulai menampakan karakter berbeda dengan mahasiswa baru lainnya.
Dia sering tiba-tiba membuat joke spontan dan jenaka yang membuat kami tertawa atau bahkan sesekali membuat siapa pun yang hadir terhenyak, seperti terkena teror mental mengambil istilah sastrawan dan sutradara Putu Wijaya. Kesan kami yang kala itu menjadi panitia Orientasi Mahasiswa Baru terhadap BQ dia bukan hanya saja pintar dan cerdas tapi berani mengungkapkan sesuatu yang menurut kita tabu. Karena itu juga mungkin sebagian teman-teman senironya malah ada yang mengesaninya sebagai polontong (belagu, red) dan Bengal.
Hubungan kami dengan BQ berlanjut di masa-masa kuliah. Dengan joke spontan, dan banyak ide cemerlang kehadirannya di Jurusan Aqidah-Filsafat memberi warna dan corak berbeda di bidang akademik maupun dalam kehidupan politik kampus. Kendati saat itu dia yunior kami, tapi dialah yang menginisiasi berdirinya kelompok-kelompok diskusi, komunitas sastra, dan bahkan menjadi salah satu inisiator munculnya Buletin KRITIKA yang berujung pada bersitegangnya aktivis AF dengan salah satu Unit Kegiatan Kampus (UKM) kala itu.
Dia yunior, tapi di bidang ide, gagasan, dan wawasan keilmuan setara atau bahkan jauh melampaui seniornya. Begitulah kesan kami pada BQ jika mengenang masa-masa kuliah.
Karena itu, saat BQ lulus menjadi Dosen di IAIN yang kini menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung kami menganggap hal wajar meski kalau mengingat masa kuliah sebagai aktivis menganggap sebuah hal yang mustahil. Demikian juga saat dia mendapat anugerah guru besar dari Kementerian Pendidikan Nasional RI. Sesuatu yang menurut kami memang layak meski di usia yang masih sangat muda. Keilmuawannya tidak diragukan, demikian juga dengan relasi yang dia bangun hingga di tingkat pusat. Usia muda bukanlah halangan untuknya menyandang gelar guru besar.
Memang sempat muncul sejumlah tanya ketika 3 Januari lalu keluar Surat Keputusan dari Kemendiknas tetang pengangkatan Guru Besar bidang Ilmu Kebijakan Pendidikan. Sejumlah orang menyangka dengan bidang itu Prof Bambang lebih pantas di Fakultas Tarbiyah dibanding Ushuluddin.
Sampai di sini tunggu dulu, karena kita akan melihat dari sudut pandang jenjang pendidikan. Prof Bambang sesungguhnya tidak terlalu aneh apalagi nyeleneh tentang Guru Besar yang disandangnya. Program sarjananya adalah Aqidah dan Filsafat angkatan 1993. Program S2nya Aqidah dan Pemikiran Islam, dan program S3nya adalah Administrasi Pendidikan. Adapun buku-buku yang ditulisnya lebih banyak fokus pada dunia pendidikan. Mungkin karena hal ini ada anggapan dia lebih pantas bertugas di Fakultas Tarbiyah dan Pendidikan.
Namun faktanya dalam Surat Keputusan Kemendiknas, dia ditetapkan masih bertugas di Fakultas Ushuluddin. Untuk menjawab hal itu, penulis mengutip dari situs resmi http://jabar.nu.or.id tentang pandangan Prof Bambang dalam dunia pendidikan.
Menurutnya, wujud dari kebijakan pendidikan itu terkait aturan yang berkaitan dengan pendidikan seperti Undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan pendidikan yang lainnya. “Kebijakan pendidikan berarti sejumlah regulasi pemerintah tentang pendidikan. Sejumlah keputusan pemerintah atau apa pun yang diputuskan oleh pemerintah yang berkaitan dengan pendidikan,” Ujarnya.
Ia mengungkapkan, beberapa regulasi yang dikritisi mengenai kebijakan kurikulum pendidikan mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) yang terlalu banyak cerita perang. Hal ini tentu menciptakan imajinasi bagi generasi muda di kalangan umat islam. “Sehingga sangat mudah sekali ketika ada seseorang masuk ayo kita buat negara baru, yuk kita perang dan lain sebagainya. Sepertinya islam itu isinya cuma perang, padahal kan itu bisa diganti atau diimbangi memunculkan tokoh-tokoh islam seperti zaman ini muncul Ibnu Sina, zaman ini muncul al Ghazali, al Khawarizmi yang menemukan angka nol, kalau itu kan keren imajinasinya islam itu ilmu pengetahuan,” ungkap Bambang.
Bambang juga menjelaskan, pendidikan itu tidak sekedar belajar mengajar, tapi ada di atasnya itu kebijakan. Ia mencontohkan kurikulum terbaru yang dibawa oleh Mendikbudristek saat ini, yakni Nadiem Makarim tentang konsep merdeka belajar. Menurutnya, para pelajar di tingkatan SD sampai SMP diajarkan untuk berfikir kritis agar ketika SMA bisa memilih profesinya.
“Tapi dasarnya harus berfikir kritis dulu sejak awal. Nah aturan-aturan di dalamnya itu kurikulum tapi yang memproduksi aturan adalah kebijakan. Pertanyaannya apakah kebijakannya oke atau tidak oke, tujuannya apa, apa yang ada di baliknya, ini kira-kira masa depannya jika kebijakannya begini gimana. Jadi, merancang apa nih yang harus dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah terkait dengan pendidikan,” jelasnya.
Menurutnya, merdeka belajar ini merupakan satu kebijakan yang harus juga dipahami oleh pendidikan agama. Sebab, merdeka belajar itu orientasi kurikulumnya berbasis pada outcame, pada skill dan hasil. Sementara beberapa hal dalam pelajaran agama misalnya itu masih tidak terukur kompetensinya.
“Ada kompetensi sikap misalnya di perguruan tinggi itu harus iman dan taqwa terhadap tuhan yang maha esa, indikatornya apa? semuanya harus diperjelas,” jelasnya.
“Sementara dalam pendidikan agama, pendidikan islam, semuanya itu harus diajarkan. Nah, merdeka belajar itu siswa harus tahu ini untuk apa, maka dia memilih, agar pendidikan agama masif diminati oleh generasi millenial, maka kurikulumnya kebijakan pendidikan agama islam itu harus diubah,” paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, ia juga menuturkan bahwa perubahan itu niscaya. Jika perubahan tidak direncanakan ataupun dipersiapkan, itu bukan perubahan, itu hancur-hancuran. Menurutnya, perubahan harus didasarkan pada perencanaan.
“Gagasan Nadiem cukup mengejutkan di kebiasaan kita, tetapi itu harus dicoba karena kita mau ngga mau sudah masuk menjadi warga global. Ketika cara belajar anak-anak millenial itu berbeda dengan zaman dulu, maka kebijakannya pun harus diubah. Karena akan repot nantinya jika caranya disamakan dengan zaman dulu. Kita butuh generasi muda untuk masa depan,” pungkasnya. (N15)
BOGRAFI
Nama : Prof DR. Bambang Qomaruzzaman M.Ag
TTGL : Serang, 8 Desember 1973.
Alamat : Komplek Vijayakusuma C2 No. 13 Cipadung Cibiru Bandung.
Riwayat Pendidikan
Program S1 IAIN Sunan Gunung Djati Bandung Prodi Aqidah dan Filsafat
Program S2 IAIN Sunan Gunung Djati Bandung Prodi Aqidah dan Pemikiran Islam
Program S3 Universitas Pendidikan Indonesia Prodi Administrasi Pendidikan
Activity :
1. Aktivis Nahdlatul Ulama sedari muda.
2. Ketua PPM Kementrian Agama Jawa Barat,
3. Dosen Teologi dan Falsafah Islam UIN SGD Bandung,
4. PW ISNU Jawa Barat, Lesbumi NU Jawa Barat, Laspesdam NU Jawa Barat,
5. Ketua Prodi Magister Religious Studies Program Pasca sarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2013-sekarang,
6. Anggota MUI Jawa Barat 2016-2020,
7. Konsultan Pendidikan Karakter Bandung Masagi Kota Bandung 2016-2018,
8. Direktur pesantren Mahasiswa Al-Musyahadah Bandung,
4. Ketua Taman Belajar Masyarakat Taman Langit Sophia Values Institute, Bandung, CEO Values 5. Institute Foundation, Konsultan Peace Building & Creative Writing,
6. Fasilitator Living Values Educational, Kemitraan Prodi Religious Studies PPs. UIN SGD Bandung dengan ALIVE Indonesia,
7. Konsultan Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung Jawa Barat, 2012-2013.
8. Sesepuh Asshadatain Bandung