
KANAL31.COM — Gerakan Pemberantasan Mafia Tanah oleh Kementerian ATR/BPN bekerjasama dengan penegak hukum ternyata masih belum memberikan perlindungan optimal terhadap tanah-tanah masyarakat
di wilayah Kabupaten Bandung. Hal ini terbukti dengan adanya penerbitan sertipikat di atas lahan yang telah digarap, dimiliki dan dikuasai oleh pemilik lahan di Desa Citeureup Kecamatan Dayeuhkolot Kabupaten Bandung, yang kasusnya saat ini bergulir di tingkat kasasi.
Pemilik lahan atas nama Ibu Kuraesin dan Ibu Halimah merasa kaget ketika bermaksud mengurus sertipikat pada Januari 2022, ternyata tiba-tiba ada pihak yang mengaku sebagai pemilik dengan
sertipikat hak milik Nomor 01601, atas lahan yang mereka peroleh dari pembagian waris dari almarhum ayah mereka yang bahkan telah digarap sebelum era Kemerdekaan RI.
Awalnya pihak pemegang sertipikat hanya memperlihatkan sekilas wujud sertipikat tersebut kepada Ibu Halimah dan Ibu Kuraesin dan tidak memperkenankan sertipikat tersebut untuk dicermati.
“Karena rasa penasaran maka Ibu Halimah dan Ibu Kuraesin menunjuk Advokat untuk mengkonfirmasi dan melakukan upaya hukum atas penerbitan sertipikat yang terkesan gelap-gelapan tersebut.
Setelah pihak kuasa hukum atas nama DIAR PURBAYU BASARY dan Rekan mengkonfirmasi ke Kantor Pertanahan Kabupaten Bandung, barulah pihak Ibu Halimah dan Ibu Kuraesin kaget. “Teu nyangka, ujug-ujug aya sertipikat di atas tanah kami yang telah kami garap dan kuasai terus menerus sejak tahun 1969”, ujar Asep salah satu anak Ibu Kuraesin dengan nada kesal kepada pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Bandung
Usut punya usut ternyata sertipikat tersebut pertama kali terbit pada 17-09-2020. Padahal pada tanggal 03-08-2020 Kepala Desa Citeureup telah mengirimkasn surat Nomor: 005/042/VIII/2020 perihal Penolakan Penerbitan Sertipikat Hak Milik atas tanah tersebut.
“Namun ternyata pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Bandung tetap bersikukuh menerbitkan sertipikat.
Fidel, advokat yang saat ini menjadi kuasa Ibu Kuraesin dan ibu Halimah dalam pengurusan tanah tersebut menduga ada permainan mafia tanah dalam penerbitan sertipikat tersebut.
“Dalam kasus ini jelas sekali bahwa oknum kantor pertanahan ada ikut bermain dengan sindikat mafia tanah, terlihat dari pengabaikan pencabutan warkah oleh kepala desa, ada keterlibtan oknum polisi dengan kepala Desa dayeuhkolot, serta pola hubungan dengan pembeli dan pihak yang mengaku-ngaku sebagai pemilik waris. Semua terang benderang, dan sangat aneh kalau tidak segera ditindak oleh aparat penegak hukum” ujar Fidel.
Saat ini, selain menunggu putusan kasasi, pihak Fidel sedang melakukan aduan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan sindikat mafia tanah. Aduan telah disampaikan kepada Kanwil ATR/BPN Jawa Barat dan Kapolda Jabar selaku koordinator pemberantasan mafia tanah dengan tembusan kepada Menteri ATR/Kepala BPN serta kepada Kantor Staf Kepresidenan. “Kasus ini tidak hanya memperjuangkan hak pemilik yang sebenarnya atas tanah di desa Citeureup tapi bisa menjadi titik tolak membongkar permainan sindikat mafia tanah di Kabupaten Bandung”, ujar Fidel dengan optimis
Sindikat mafia tanah ini bekerja dengan memperalat orang-orang pribumi tertentu dan mengarang riwayat kepemilikan tanah. Untuk menguatkan riwayat keturunan mereka, mereka memperalat pengadilan membuat Penetapan Ahli Waris. Di belakang mereka ini ada cina pemodal yang beroperasi mengkondisikan warkah dan mengkondisikan internal oknum kantor pertanahan. Sesaat setelah sertifikat diterbitkan, dilakukan peralihan hak kepada pemodal melalui akta jual beli.
Untuk melawan kekuatan mafia ini, selain komitmen aparat penegak hukum yang berdedikasi diperlukan kekuatan rakyat progresif membongkar sindikat yang mengakar di berbagai instansi.
Untuk menumpasnya secara sistematis, diperlukan perubahan pola kerja dan pertanggungjawaban instansi yang menangani pertanahan. Tidak boleh lagi kantor BPN cuci tangan terhadap penerbitan sertifikat. Setiap sertifikat bermasalah harus dipertanggungjawabkan oleh instansi maupun petugas yang melayani penerbitan sertifikat.