
BANDUNG Kanal31.com — Sekitar 2 tahun lalu saya terkesan oleh sebuah pernikahan tetangga, alumni Fakultas Syariah UIN Bandung, S2-nya di Manajemen ITB dan baru keterima kerja di Pertamina, Jakarta. Pernikahannya sederhana dan terasa nyaman. Undangan hanya keluarga dan tetangga dekat, acaranya pun sederhana, tak ada kemeriahan apalagi kemewahan. Antar tetangga, makan walimahan sambil ngobrol bercengkrama akrab. Bawah sadar saya mengatakan, saya ingin anak saya menikah seperti itu.
Sebulan yang lalu, saya tertarik dengan sebuah video Tiktok yang katanya viral. Ada pasangan nikah “cuek”: Datang berdua ka KUA, nikah disitu, diantar dua pihak keluarga, setelah nikah di KUA dan sah sebagai suami istri, tapi setelah nikah keduanya langsung pada pulang ke rumahnya masing-masing dan langsung tidur siang. Gak ada persiapan “riweuh” (ribet), gak ada harus langsung serumah, gak biaya mahal dan acara melelahkan. Bagi mereka berdua, nikah itu sederhana, yang tak sederhana adalah gengsi dan pestanya.
Dua minggu yang lalu, saya baru mendengar ada istilah “private marriage” atau “intimate wedding” yang konon lagi ngetren, yaitu pernikahan sederhana hanya dihadiri oleh keluarga inti, tetangga dekat dan teman-teman dekat dari kedua mempelai, jumlah undangan 50-100 orang.
Private marriage atau intimate wedding, tentu saja adalah sebuah pernikahan visioner: Pasangan menikah lebih memikirkan pasca pernikahan untuk memulai berumah tangga dengan biaya yang berhasil dikumpulkan ketimbang menghabiskan biaya besar untuk gengsi, apalagi setelahnya meninggalkan hutang. Konon, yang meninggalkan hutang setelah nikah itu banyak.
Hari ini, tadi pagi, tak menyangka, saya hadir ke sebuah intimate wedding teman saya di Grand Sharon Residence, Cipamokolan, Jl. Soekarno Hatta Bandung. Acara pernikahan berlangsung hanya dari jam 7 – 10 pagi. Selesai. Pernikahannya di Masjid Al-Mujahadah. Setelah akad dan sah, yang hadir dibagi kantong bagus berisi nasi kotak dan sovenir di halaman masjid. Saya datang jam setengah 10, tenyata sudah selesai.
Ngobrol di halaman masjid dengan kedua orang mempelai wanita, saya tanya banyak hal tentang pernikahan yang sederhana itu dalam suasana nyaman, gak ramai, gak panas, gak ada pesta, gak ada musik apalagi berisik, jumlah tamu sekitar 200 orang dan sebagian besar sudah pada pulang, jam 10 sudah selesai.
Di halaman masjid itu masih ada sedikit keramaian keluarga sekitar 30 orang. Tak ada dekorasi, gak ada kembang atau bunga-bunga, tak ada foto-foto pre-munding, tak ada ucapan selamat datang, tak ada EO, tak ada sewa gedung dan tak ada katering. Saya terus terang terkesan oleh kenyamanan suasana sederhananya padahal Grand Sharon adalah perumahan elit. Saya tanya keinginan siapa intimate weddingnya? “Ya anak saya sendiri,” kata si Ibu, “dan sesuai keinginan saya juga.”
Ke tetangganya, dalam sebuah pengajian rutin, si ibu sudah mengumumkan akan menikahkan anaknya dan mohon maaf gak bisa mengundang semuanya. “Hanya yang sekitar rumah, yang akrab, Pak RT dan Pak RW. Plus teman-teman dekat di kantor saya. Sudah itu aja.” katanya. ” Kalau diundang semua nanti terlalu banyak. Intinya kan sah secara agama, semua keluarga tahu, tetangga dekat dan teman-teman dekat tahu anak saya menikah. Kan begitu. “Bener Bu,” saya membenarkan.
Mengapa Intimate Wedding?
Secara sosiologis, kemunculan private atau intimate wedding adalah gejala rasionalisasi masyarakat yang cara berpikirnya kini semakin rasional, atau warasisasi dari budaya kapitalistik, budaya pesta, budaya gemerlap dan budaya hingar-bingar dari sebuah acara sakral bernama pernikahan. Kapitalisme sudah lama mengintip pesta pernikahan sebagai peluang bisnis, hasilnya kemewahan menjadi sebuah tradisi. Getirnya, banyak yang memaksakan diri dan berpikir pendek karena terbawa arus dan gengsi: Pernikahan mahal dan setelahnya morat-marit menghabiskan modal atau bahkan meninggalkan hutang.
Selain pernikahan visioner dari masyarakat waras, private dan intimate wedding, juga adalah gejala makin sadarnya orang pada ajaran agama: Pernikahan itu yang penting sah secara syariat agama, lalu keluarga, tetangga dan teman-teman dekat tahu. Itu saja, cukup. Tak perlu biaya besar dan kemewahan. Buat apa gengsi dan kemewahan dipentingkan tapi usia pernikahannya tak berlangsung lama: 1-3 tahun cerai lagi karena tak pada dewasa, tak sanggup mengatasi perbedaan dan gejolak badai rumah tangga, karena kurangnya pendidikan agama keduanya. Banyak orang malu dengan pernikahannya yang “wah,” mahal, tapi ternyata tak berusia lama, cerai lagi.
Nikah menurut Islam
“Ya Rasulallah,” kata Ali bin Thalib suatu saat kepada gurunya dan sosok yang paling dihormati dan digaungkan dalam hidupnya, Nabi Muhammad SAW, “aku ingin meminang putrimu Fatimah Az-Zahra sebagai istriku, bila engkau izinkan,” begitulah kira-kira pinta Ali sambil senyum mesem. Rasulullah SAW tersenyum memahami gejolak hati dan niat suci pemuda shaleh, cerdas dan terpercaya yang termasuk Assabiqunal Awwalun (golongan awal yang masuk Islam) itu. “Baiklah, apa yang kau punya untuk menikahi putriku wahai Ali?” Ali cuma bisa tersenyum malu: “Gak punya apa-apa ya Rasulallah, kecuali hanya cincin besi di jariku ini.” “Ya sudah, itu saja sebagai maharnya (mas kawin).” Ali pun diterima sebagai menantu Rasulullah SAW dan menjadi suaminya putri tercinta Nabi SAW, Fatimah Az-Zahra, putri penghuni surga.
Kisah yang saya gambarkan intinya itu, adalah ajaran pernikahan dalam Islam: Niat suci, menjalankan syariat, mahar sesanggupnya, umumkan ke keluarga terdekat, teman-teman dekat dan tetangga. Nikah itu suci, sakral dan ibadah, tak ada hubungannya dengan kemewahan dunia. Nikah itu sederhana dan murah, tapi berat tanggung jawabnya. Yang mahal itu gengsi, citra, kemewahan, gaya hidup dan budaya.
Private marriage atau intimate wedding adalah, selain gejala sadar masyarakat modern, juga fenomena berpikir yang semakin rasional dan substantif, dan perlawanan atas budaya hingar-bingar dan kemewahan yang menjenuhkan yang mengeringkan hati dan jiwa.
Selamat menjadi Muslim yang rasional, cerdas, visioner dan diridhai Allah!***
Moeflich H. Hart, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung