
KANAl31.COM
Akun-akun media sosial dengan konten keagamaan umumnya menyampaikan pembahasan yang serius. Namun belakangan muncul akun medsos keagamaan garis lucu yang menyampaikan pesan agama dengan jenaka. Misalnya di twitter muncul akun @NUgarislucu hingga @MuhammadiyinGL.
Dosen Pascasarjana Sejarah Peradaban Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Dr Ahmad Ginanjar Sya’ban menyampaikan humor merupakan buah yang dihasilkan dari kejeniusan berpikir.
“Jika dalam tradisi keilmuan Islam kita kenal beberapa tokoh humor seperti Abu Nawas, Nasruddin Hoja dari tradisi Turki Utsmani, serta Juha,” kata Ginanjar dalam diskusi virtual Rabu (3/8/2022).
Di Indonesia, lanjut Ginanjar, dalam tradisi Sunda terdapat satu tokoh yakni Kabayan, sedangkan di Nahdlatul Ulama (NU) terdapat beberapa tokoh seperti Gus Dur dan Asmuni.
Ginanjar menjelaskan, humor mempunyai fungsi bagaimana menjadi penyeimbang, dari dua dua belah pihak yang sedang berseteru merebutkan klaim kebenaran.
“Nah, di sini saya berpikir humor dijadikan untuk menetralisir keadaan tersebut. Kemudian, dalam tradisi Islam humor juga memiliki fungsi untuk menetralisir suhu politik,” kata Ginanjar.
Menurutnya, humor bahkan dapat digunakan sebagai sarana kritik bagi para penguasa. Hal tersebutlah yang kerap dilakukan Abu Nawas yang jika orang biasa lakukan pasti akan marah.
“Jadi apapun di sini diperlukan ketika disampaikan dengan humor mungkin yang semula itu keras atau tegang, bisa lebih soft, jenaka dan juga bisa diterima,” terang Ginanjar.
Dengan demikian, menurut Ginanjar humor kemudian menjadi salah satu karya sastra tersendiri yang ditulis oleh banyak ulama.
“Banyak ulama yang menulis karya-karya di bidang humor ini sampai ulama sekelas Ibnu Jauzi yang terkenal serius, ternyata dia juga punya kitab Akhbarul Hamqa Wal Mughaffalin (Logika Orang-orang Bodoh),” katanya.
Selain itu, ada Al Jahiz juga menulis satu kitab yang menceritakan orang-orang pelit. “Jadi cerita humor melalui kacamata bagaimana pelitnya orang, tetapi dibuat menjadi humor,” ungkapnya.
Dalam cerita tersebut, mengajarkan kepada orang bahwa pelit merupakan perbuatan tercela. Tetapi kemudian nasihat jangan pelit dapat diterima tanpa tegang dan dengan rileks yang kemudian dibuat narasi-narasi humor.
“Alhamdulillahnya, di NU ini kaya akan tradisi humor. Makanya banyak sekali literatur-literatur yang ditulis misalkan mati ketawa ala sufi, mati ketawa ala kiai dan lainnya,” jelasnya.
Ginanjar menambahkan, humor ini menjadi salah satu tradisi yang perlu dilestarikan dan diturunkan. Agar kemudian memahami menjalani bahwa beragam ini mengasyikan, dan menggembirakan.
“Sehingga orang ketika terjadi hal-hal yang sekiranya berbenturan, dapat dengan cepat mencarikan solusi yang sekiranya menggembirakan,” tutup Ginanjar.