
Deskripsi Psiko-sosiologis
Di kalangan umat Islam, ada lima kelompok orang saat mendengar adzan berkumandang kaitannya dengan shalat.
Pertama, kelompok yang segera ke masjid memenuhi panggilan adzan untuk shalat berjama’ah. Adzan baginya adalah panggilan untuk langsung shalat di awal waktu.
Kelompok ini ada tiga kelompok lagi. Pertama, karena kebiasaan saja, ketika adzan dia sudah biasa langsung ke masjid. Kedua, kebiasaan tidak juga, tapi karena ingin taat saja, ketika sikonnya pas dia ke masjid saat mendengar adzan, kalau tidak pas ya tidak langsung ke masjid. Ketiga, karena mengejar pahalanya yang besar, 27x lipat.
Kedua, kelompok yang ketika mendengar adzan, baginya itu adalah pemberitahuan waktu shalat sudah tiba, tak harus langsung shalat atau ke masjid. Di pikirannya, itu notifikasi bahwa waktu shalat sudah masuk. Shalatnya awal waktu, tengah-tengah atau di akhir, tergantung suasana hati atau sikon yang sedang dia alami, yang penting dia pasti akan shalat, dan pada waktunya, yaitu sebelum berganti ke waktu shalat berikutnya.
Ketiga, kelompok yang sedang acara penting: Rapat, pembahasan masalah, memutuskan sesuatu, lagi ada tamu resmi di kantor, lagi kuliah di kelas, lagi diskusi atau seminar, atau pikiran lagi fokus pada sesuatu yang sedang dikerjakan dll. Ini sama dengan yang kedua, shalat nanti saja kalau sudah acara selesai biar tenang dan tumaninah, biar hati dan pikiran fokus karena acara sudah beres.
Keempat, mendengar adzan dan tidak sama saja, gak ngaruh, dia ngaku Muslim tapi tidak shalat. Menurut survei, jumlah ini mencapai 38% dari seluruh umat Islam di Indonesia. Bila umat Islam berjumlah 200 juta, maka 76 juta orang Muslim Indonesia tidak shalat.
Kelima, mendengar adzan terganggu. “Mendengar adzan terganggu” itu bukan soal adzannya, tapi soal volume speakernya yang memekakkan telinga, karena jaraknya dekat atau karena suara dan bacaan adzannya menyedihkan. Ada juga yang lucu, bacaannya salah tapi pede, biasanya orang yang sudah tua, baru taat agama di usia senja dan semangat adzan 😊.
Volume speaker sudah lama menjadi perdebatan dan pengaturannya gak beres-beres. Pemerintah sudah mengatur tapi gak ngaruh, anjuran juga gak akan ngaruh karena masyarakat umumnya menganggap “mempersoalkan volume suara speaker adzan” sama dengan “mempersoalkan agama.” “Mengkritik volume speaker masjid” dianggapnya “mengkritik agama Islam.” Orang jadi pada takut.
Ini yang dilematis yang membuat pengaturan suara speaker masjid masih sulit di Indonesia. Umumnya umat Islam sepakat, speaker luar hanya untuk adzan saja, sedangkan pengajian orang dewasa, pengajian anak-anak, nadhaman, shalawatan dll, cukup pakai speaker dalam saja.
Tapi ini juga sulit karena demam speaker sudah melanda umat Islam tanpa melihat relevansinya. Misalnya, pengajian rutin majlis taklim ibu-ibu, suara speakernya keras kemana-mana, ternyata yang hadirnya di masjid cuma 10 orang, jarak antara penceramah dan dengan hadirin pun tak jauh karena masjid kecil.
Kemudian, pengajian anak-anak dan hafalan, pakai speaker luar, pengumuman-pengumuman kerja bakti, arisan, panggilan-panggilan hadir ke pengajian yang berulang-berulang: “Bu Kuraesin, Bu Tatang sama Bu Ade, mangga diantoosos … Pak Ustadz nya sudas dataaang … Jangan lupa konsumsi sama kopinya dibawwaaa …!! 😄 Protes umumnya tidak berani, karena itu kan “agama.” 😊☕🚬
Moeflich H. Hart, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati BandungÂ