
BANDUNG kanal31.com — Slank lahir dari jalanan Jakarta di awal 1980-an, dari mimpi-mimpi bocah muda yang haus kebebasan. Bermula dari Cikini Stones Complex, lalu bermetamorfosa menjadi Slank, sebuah nama yang bukan hanya berarti band, tapi juga napas panjang yang terus mencari makna dalam kebebasan dan persaudaraan.
Di tengah gejolak dunia musik Indonesia yang kala itu lebih banyak meniru apa yang datang dari luar, Slank datang dari gang sempit Potlot membawa suara baru yang otentik, jujur, melawan arus, namun juga penuh cinta.
Seperti setiap perjalanan besar, kiprah Slank di dunia musik tidaklah selalu mulus. Mereka bertarung dengan ketergantungan, perpecahan, dan tekanan industri. Di titik-titik rapuh itulah kehadiran Bunda Iffet menjadi cahaya. Ia datang bukan sekadar sebagai manajer, melainkan kompas yang memandu arah.
Dengan keteguhan hati seorang ibu, ia merawat luka “anak-anaknya”, menegakkan nilai-nilai yang membuat Slank tetap menjadi Slank, bukan hanya terkenal, tapi tetap jujur pada nurani.
Dalam diamnya, Bunda Iffet seakan memahami satu tuturan bijak para sufi, “Apa yang lahir dari hati, akan menyentuh hati.” Ia menjaga agar Slank tidak kehilangan rohnya, meski dunia berusaha membelokkan mereka. Ia mendampingi mereka melalui masa-masa kelam, saat ketergantungan nyaris menghancurkan segalanya, lalu menyaksikan kebangkitan mereka, lebih kuat, lebih otentik.
Slank yang kita kenal hari ini, band yang melalui lagu-lagunya banyak berbicara tentang cinta, perdamaian, dan perlawanan, adalah buah dari perjalanan panjang yang ditemani doa-doa diam Bunda Iffet. Saya kira, ia bukan hanya manajer di balik layar, ia juga adalah roh dan nadi lain yang mengalir di tubuh Slank.
Berita meninggalnya bunda Ifet, kita semua seumpama diingatkan, bahwa peran terbesar sering kali tidak berteriak dengan menepuk dada. Ia seperti bumi yang memeluk akar, Bunda Iffet menjaga kehidupan Slank dalam keheningan penuh kasih. Penuh cinta.
Boleh jadi, tanpa bunda Iffet, mungkin Slank hanya akan menjadi kisah lain yang tersesat dalam gemerlap fana.
Tabik.[]
Radea Juli A Hambali, Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung