
BANDUNG kanal31.com — Sebastian adalah perencana kota asal Belgia. Dia ditugaskan Uni Eropa untuk membantu Kawasan Rebana dalam hal nature based solution (NBS). Orangnya santai, dan kata anak muda sekarang mah dia itu kalcer (culture) banget. Diajak makan empal gentong, sangat menikmati. Diajak makan sate di Stasiun Hall Bandung, juga begitu.
Kami ajak dia keliling Cirebon dan Majalengka.
Kesimpulan dia: Cirebon is amazing. It is a hidden gem.” Alias permata tersembunyi.
Istilah “hidden gem” biasanya sering digunakan oleh dunia pariwisata, kuliner, seni, dan bahkan bisnis. Dan, Cirebon itu tepat disebut sebagai a hidden game.
Kita melihatnya biasa, tapi kata orang asing: luar biasa.
Mari kita melamun.
Suatu hari kapal pesiar megah seperti Royal Caribbean, Costa Cruises, atau bahkan Dream Cruises asal Asia Timur, merapat di Pelabuhan Cirebon. Ribuan turis asing turun, berjalan kaki ke alun-alun, menyusuri keraton-keraton megah, mencicipi empal gentong dan nasi jamblang, membeli batik trusmi, lalu sore harinya menonton tari topeng klasik Cirebon. Ekonomi lokal langsung bergerak: hotel penuh, restoran ramai, UMKM kebanjiran order, dan transportasi lokal hidup.
Potensi itu nyata. Industri cruise global tumbuh rata-rata 7% per tahun, dan kawasan Asia Pasifik kini menjadi salah satu pasar terbesar. Data dari Cruise Lines International Association (CLIA) menunjukkan, lebih dari 4,5 juta turis Asia naik cruise setiap tahunnya. Turis Tiongkok, khususnya, mendominasi pasar—dan ini selaras dengan jejak sejarah Cirebon yang sejak abad ke-15 sudah dipengaruhi budaya Tiongkok. Dari keramik, arsitektur keraton, sampai motif batik mega mendung, semuanya menyimpan DNA interaksi maritim kuno antara Cirebon dan negeri seberang.
Sayangnya, Pelabuhan Cirebon hari ini belum siap menyambut cruise besar. Kedalamannya hanya sekitar 4 meter. Padahal, untuk kapal pesiar standar internasional, minimal dibutuhkan kedalaman 9–11 meter agar aman bersandar. Pernah ada beberapa kali kapal pesiar singgah di Cirebon, tapi mereka sandar di tengah laut. Penumpang merapat dengan menggunakan perahu-perahu kecil.
Di sinilah pekerjaan rumah kita: redesign pelabuhan dengan pengerukan (dredging), penataan ulang jalur masuk kapal, serta pengendalian sedimentasi dari aliran Sungai Cisanggarung dan Sungai Kuning yang bermuara ke teluk Cirebon. Teknologi modern memungkinkan sedimentasi dikendalikan melalui kombinasi breakwater (pemecah gelombang), sistem alur baru, serta pengerukan berkala berbasis mapping sonar.
Kalau pelabuhan dibenahi, potensi cuannya luar biasa. Satu kapal pesiar ukuran menengah membawa 2.000–3.000 penumpang. Rata-rata setiap turis cruise membelanjakan USD 100–150 per kunjungan singkat. Artinya, sekali sandar bisa menghasilkan Rp 30–70 miliar untuk ekonomi lokal. Bayangkan jika dalam setahun ada 30–40 kapal yang merapat—Cirebon bisa membuka sumber ekonomi baru setara PAD tambahan daerah.
Dan inilah daya tarik yang tak dimiliki kota lain: keunikan sejarah Cirebon sebagai melting pot Sunda, Jawa, Tiongkok, hingga Eropa. Dari Keraton Kasepuhan yang punya ornamen megah, Masjid Agung Sang Cipta Rasa dengan jejak arsitektur Demak, hingga pengaruh Portugis yang masih bisa dirunut di naskah-naskah lama. Cirebon bukan hanya kota pelabuhan, tapi museum hidup interaksi budaya maritim. Inilah cerita yang bisa dijual ke pasar cruise global—sebuah pengalaman otentik yang tak ditemui di Bali atau Batam.
Sebetulnya, dengan merapat di Cirebon, turis juga bisa melakukan perjalanan darat ke Jakarta, Bandung, dan Semarang. Sehingga Pelabuhan CIrebon bisa jadi pintu masuknya. Kita bisa meraih potensi turis China yang kian hari kian tebal dompetnya.
Karena itu, kalau kita serius ingin mengunci pertumbuhan pariwisata Jabar bagian utara, maka kuncinya ada pada unlocking Pelabuhan Cirebon untuk cruise. Dengan kombinasi investasi infrastruktur, promosi internasional, dan penguatan ekosistem wisata (kuliner, budaya, UMKM), Cirebon bisa naik kelas menjadi hub pariwisata maritim dunia.
Let’s think differently!!
Budhiana Kartawijaya, Founder dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Odesa Indonesia