
BANDUNG kanal31.com — Setelah dua kali dikalahkan dalam Pilpres 2014 da 2019, berdasarkan strategi high-politics, Prabowo hanya akan bisa menjadi presiden, tuntutan situasi politiknya saat itu, bila dia masuk gabung ke kabinet Jokowi, karena politik itu bukan “keinginan” dan “seharusnya” tapi strategi.
Prabowo tak akan bisa menang kalau frontal menjadi pesaingnya karena kuatnya tembok raksasa pelindung Jokowi, the real power yaitu oligarki yang bersenyawa dengan KGB (Komunis Gaya Baru). Apapun keinginan rakyat yang sadar dan bagaimana pun diteriakkan “rakyat adalah pemilik kedaulatan tertinggi,” fakta politiknya, dua kelompok itulah penguasa politik Indonesia sesungguhnya.
Bila musuh berat dan utama manusia adalah hawa nafsunya dan godaan setan, musuh utama dan berat NKRI adalah oligarki dan KGB. Jokowi hanyalah boneka dan boneka harus yang hanya nurut dan mudah diatur, yang tak punya harga dirinya sebagai manusia. Tak masalah terhina dan dihinakan seperti sekarang. Adakah mantan presiden, yang mestinya dihormati, tapi malah terhina dan dihinakan oleh rakyatnya sendiri seperti sekarang? Tak ada, kecuali Jokowi. Tapi bagi Jokowi tak masalah, dia sudah menumbalkan dirinya. Sang tumbal yang disebut oleh para kritisi sebagai lugu dan dungu, tapi disebut oleh pasukan buzzer dan rakyat tak sadar sebagai “presiden terbaik sepanjang masa.”
Sepanjang 2014-2019, untuk bisa mengalahkan Jokowi sebagai boneka oligarki dan KGB, tak bisa frontal dan langsung. Situasi politiknya tak memungkinkan. Terbukti, dua kali pilpres, Prabowo tetap kalah. Mau disebut “pemilu curang,” “sebenarnya Prabowolah yang menang,” atau “sebenarnya Anislah yang menang,” tetap faktanya Jokowi yang dimenangkan. Hukum tak berjalan karena sudah dikuasai, DPR dikuasai, gugatan ke MK juga tak berhasil karena MK sudah dikuasai. Paman Usman sudah dipasang untuk kemenangan Jokowi dan untuk memaksakan anaknya yang belum dewasa jadi wapres. Konstitusi sudah dijebol, sebagian pengamat terbelalak, mulai siuman.
Strategi high-politics Prabowo dengan bergabung itu tak terpikirkan oleh para pengamat dan para pendukungnya dulu, mereka kecewa dan marah. Menuduh dia, hipokrit, haus jabatan, politiknya hanya untuk kepentingan sendiri dst. Tuduhan itu semua wajar dan Prabowo tak peduli. Masuknya dia ke kabinet Jokowi harus dia bayar dengan kekecewaan dan hujatan rakyat kepadanya, dianggap mengkhianati para pendukungnya.
High-politics itu terbukti. Prabowo pun menang jadi presiden dengan juga terpaksa menggandeng si fufufafa jadi wapresnya. Prabowo asalnya tak mau, tapi itu strategi yang kedua. Sesudah terpilih, toh Prabowo bisa tak memfungsikannya seperti sekarang sering dilakukan dan lebih menonjolkan AHY sebagai pendampingnya.
Seperti dikatakan Gus Dur, Prabowo adalah sosok yang sangat tulus mencintai Indonesia dan pengabdiannya pada rakyat. Komitmennya untuk membesarkan Indonesia, tak diragukan. Ucapan Gus Dur terbukti, Prabowo akan jadi presiden di usia tua. Sebenarnya sih gak tua-tua amat.
Eep Saefullah Fatah adalah diantara pengamat politik yang peka membaca karakter asli Prabowo. Eep meyakini, Prabowo adalah seorang jenderal patriot yang ingin membesarkan Indonesia. Menurut Eep, Prabowo tetap tak suka Jokowi dan setelah jadi presiden dengan dukungan Jokowi, Prabowo pada dasarnya tak bisa dikendalikan dan sekarang mulai terbukti. Langkah-langkah Prabowo mulai menggeser pengaruh geng Solo. Dukungan rakyat, para jenderal purnawirawan, para pendukung dan pihak-pihak yang menaruh harapan padanya, memperkuatnya.
Bacaan Eep tak meleset. “Kelebihan Eep,” kata Indonesianis dari Amerika Serikat, William alias Bill Liddle, “adalah kemampuannya membaca figur politik sebagai faktor analisis politiknya dan itu menyumbangkan prespektif karena itu luput dari umumnya para pengamat.” Eep benar. Prabowo memang tak berubah dan sekarang dia sedang menunjukkan tekadnya, pro rakyat dan menghadapi geng Solo dan oligarki.
Dari mana high-politics itu bermula? Bukan dari Prabowo sendiri. Oleh ia sendiri tak terpikirkan. Bila oligarki dan KGB adalah “the invisible actors” yang mengendalikan politik Indonesia, di belakang Prabowo juga ada “invisible power” yang mengilhamkan langkah-langkah politiknya agar Indonesia berjalan ke arah politik yang benar, menjalankan konstitusi, menegakkan hukum, pro rakyat dan mensejahterakan ekonomi.
Sebagaimana politik dan ekonomi dunia dikendalikan oleh konspirasi para elit global yang tak terlihat (the invisible global elites conspiracy), demikian juga politik Indonesia sebagai negara besar dan bagian dari politik dunia. Karena perkembangan Indonesia sebagai kawasan strategis dan berpenduduk mayoritas Muslim, juga akan mewarnai perkembangan politik dunia. High-politics di tingkat global maupun di level negara adalah ranah permainan para invisible actors itu.
Ketika usai Pilpres 2019 dengan kekalahannya dua kali oleh Jokowi karena dukungan triliunan dana oligarki yang sudah menjadi rahasia publik, Prabowo diingatkan untuk tak membenci Jokowi, menjaga hubungan baik dan diperintah untuk masuk ke kabinetnya. Sebagai mantan rival pilpres dan jenderal patriot, Prabowo menolak. “Gak mau! Malu saya, kan tahu saya tak suka Jokowi. Masa mantan rival pilpres gabung ke kabinetnya jadi menteri, itu merendahkan saya. Dan apa kata rakyat pendukung saya nanti? Mereka akan menghujat saya,” begitu kira-kira jawabannya dan memang terbukti.
Tapi perintah itu begitu berwibawa, the invisible yang sangat dihormatinya, yang paham karakter, potensi dan jiwa Prabowo secara mendalam dan akhirnya mengalahkan pikiran wajar Prabowo. “Tak ada cari lain kecuali dengan itu kalau Anda masih ingin memajukan bangsa dan negara ini. Kesempatan itu masih ada!” “Maaf, saya gak mau, dimana muka saya kalau saya gabung ke pemerintahannya. Apa gak ada cara lain.” Prabowo yang emosional masih bersikukuh dengan temperamentalnya sebagai prajurit.
Melihat bersikukuhnya sang jenderal, akhirnya, perintah itu keluar bernada ultimatum: “Terserah! Kalau nanti mau kalah lagi!! Itu lebih memalukan dan menyakitkan. Terus-terusan nyapres dan tak pernah menang. Keinginanmu membangun negara ini dengan menjadi kepala negara hanya impian, padahal Anda mampu.”
Prabowo terdiam. Speechless. Dan ucapan itu membuatnya membuka ruang introspeksi. Betapa ia greget ingin membangun bangsa dan negara ini lebih maju, tapi sekarang ini dipegang oleh pemimpin yang salah, sementara banyak rakyat terbius.
Akhirnya, Prabowo pun tersadar dan menerima. Diaturlah beberapa pertemuan dengan Presiden Jokowi yang membuat Prabowo banyak dihujat rakyat pendukungnya sebagai hipokrit dan hanya mencari jabatan dan kekuasaan, meninggalkan pemilihnya yang didukung para ulama, tapi dia sudah dibekali agar tidak terpengaruh.
Tahapan demi tahapan pertemuan itu menjadi berita-berita headline media nasional di awal periode kedua kepresidenan Jokowi dalam isu-isu “Prabowo dengan kesatria mengakui kemenangan Jokowi dan menghormatinya,” “Bagi Prabowo, siapapun yang memimpin negara yang penting demi rakyat dan bangsa,” “Prabowo mendekati Jokowi,” atau “Prabowo diraih Jokowi,” dan akhirnya menjadi Menteri Pertahanan, yang kemudian memuluskannya menjadi presiden. Dari sinilah Jokowi terjebak!
Prabowo pun melenggang menjadi presiden dengan pesan yang dia ingat: Jangan memusuhi Jokowi, jaga hubungan baik, kalau perlu puji-puji dia: “Hidup Jokowi!” Perjalanan masih jauh. Ingat, politik itu strategi, harus bermain cantik. Rakyat tak sabar, biarkan saja, mereka tidak paham. Ini high-politics!!
Tapi oleh tuntutan situasi, gebrakan Prabowo tak berhasil juga ditutup-tutupi. Perlawanan pada geng Solo dan oligarki mulai terbaca dan dimulai. 10 bulan pemerintahnya, masyarakat menyaksikan langkah-langkahnya. Banyak rakyat tak sadar.
Membatalkan kenaikan pajak PPN 12% yang dinaikkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Memerintahkan pembongkaran Pagar Laut di Tanggerang walaupun tak ditaati langsung Menteri KKP.
Membatalkan kebijakan Mentri Bahlil tentang gas melon yang menimbulkan gejolak, kesulitan rakyat dan korban dalam antrian masyarakat.
Mencabut 4 dari 5 SIUP Nikel di Raja Ampat.
Membubarkan tim kerja Omnibus Law.
Menghapuskan hutang² petani dan nelayan.
Menghentikan 300 jendral ternak Jokowi.
Jendral Kunto yang bertekad akan membasmi PKI sampai ke akar-akarnya, yang kemudian diberhentikan oleh Jokowi, diangkat lagi oleh Prabowo dengan diberi jabatan Pangkolkabwilhan untuk menghadapi Cina di wilayah Natuna.
Menutup langsung kasus PIK-2.
Mengangkat Novel Baswedan, mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menjadi Wakil Kepala Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Optimalisasi Penerimaan Negara pada Juni 2025.
Dan yang terakhir, Reshuffle 5 menteri geng Solo, dan yang juga sudah santer akan mengganti Kapolri atas desakan rakyat.
Banyak pengamat yang sadar menilai, ini baru awal. Gebrakan-gebrakan selanjutnya akan muncul yang memberi harapan menggembirakan pada rakyat Indonesia.
Oligarki dan KGB boleh habis-habisan dengan segala cara menguasai politik Indonesia dan merusaknya untuk kepentingan mereka, tapi tetap saja mereka hanyalah segolongan manusia, manusia biasa. Allah pun menyayangi Indonesia.
Mereka boleh makar, tapi bukankah Allah, Tuhan semesta alam adalah “khairul mākirin”? Sebaik-baiknya pembuat makar? Bukankah nama “Allah” tertulis dalam Pembukaan UUD 45 dengan kalimat “Atas Rahmat Allah SWT”? Melalui kesadaran para founding fathers, bangsa Indonesia sudah mengakui, kemerdekaan ini adalah atas Rahmat Allah, akankah kemudian Allah diam dan berhenti mencintai Indonesia?
Percayalah dan tetaplah beriman bahwa Indonesia, negeri Nusantara, negeri para ulama dan parawali ini, dijaga dan dicintai Allah SWT. 😊🙏☕🚬
Moeflich Hasbullah Dosen Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Sunan Gunung Djati Bandung