BANDUNG Kanal31.com — Ada masa ketika pengetahuan diyakini sebagai cermin yang jernih, yang memantulkan dunia sebagaimana adanya. Manusia merasa berada di posisi istimewa dalam semesta sebagai makhluk rasional yang mampu menyingkap hakikat realitas melalui kekuatan akalnya. Di bawah terang pencerahan, keyakinan ini menjadi hampir seperti iman baru, bahwa segala sesuatu yang dapat dipahami dengan jelas dan teratur oleh akal pasti benar adanya. Dunia, bagi banyak pemikir abad ke-17, hanyalah teks yang menunggu untuk dibaca dan akal manusia adalah pembaca yang setia. Descartes berbicara tentang cogito, Locke tentang tabula rasa, dan para ilmuwan awal modern menemukan hukum-hukum alam seakan mereka sedang membuka kitab besar yang ditulis oleh Tuhan.
Namun di abad ke-18, keyakinan itu mulai retak. Bayangan yang tampak di cermin pengetahuan ternyata tidak sesederhana yang disangka. David Hume (1711-1776), dengan skeptisisme yang tenang namun tajam, mengangkat pertanyaan yang mengguncang fondasi epistemologi modern: apakah yang kita sebut “pengetahuan” sungguh berasal dari dunia luar, atau hanya hasil dari kebiasaan dan asosiasi dalam pikiran manusia? Bagi Hume, akal tidak pernah benar-benar keluar dari wilayah pengalaman, ia hanya menata kesan-kesan yang diterimanya. Hubungan sebab-akibat yang selama ini kita yakini sebagai hukum universal, misalnya, hanyalah kebiasaan yang terbentuk dari pengulangan, bukan kebenaran yang niscaya.
Sejak saat itu, sejarah filsafat tidak lagi sama. Dengan satu gerakan tangan, Hume mengubah arah pertanyaan filosofis dari “apa yang ada” menjadi “bagaimana kita tahu apa yang ada.” Ia menanamkan kesadaran baru bahwa pengetahuan bukan jendela yang terbuka kepada realitas, melainkan konstruksi yang dibangun oleh kesadaran manusia di dalam ruang pengalaman. Skeptisisme Hume bukan hanya menggugat metafisika, tetapi juga menanamkan benih bagi seluruh tradisi epistemologi modern. Dari mulai Immanuel Kant yang membalik cara berpikir filsafat menjadi kritisisme, hingga filsafat sains abad ke-20 yang menolak kepastian mutlak. Cermin yang dulu dianggap jernih kini tampak keruh, tetapi justru di sanalah kejujuran baru lahir, bahwa mengetahui dunia berarti juga menghadapi keterbatasan diri sendiri.
Hume dan Lahirnya Revolusi Epistemologi
Hume bukan sekadar peragu, ia adalah arsitek dari keraguan yang sistematis. Ia mengguncang keyakinan bahwa akal budi bisa mencapai kepastian. Dalam A Treatise of Human Nature (1739), ia menulis bahwa semua isi pikiran manusia hanyalah kesan (impressions) dan gagasan (ideas). Tak ada “pengetahuan murni” di luar pengalaman. Tapi dari sinilah persoalan besar dimulai. Jika semua pengetahuan datang dari pengalaman, bagaimana kita bisa yakin bahwa dunia sungguh ada sebagaimana yang kita alami? Jika yang kita miliki hanya “kesan” dan bukan “dunia itu sendiri,” bagaimana kita bisa menyeberang dari pengalaman subjektif menuju kebenaran objektif? Dilema inilah yang kemudian menjadi pintu masuk epistemologi modern. Filsafat tidak lagi bertanya apa yang benar, tetapi bagaimana kita tahu sesuatu itu benar.
Ketika David Hume menolak kepastian kausalitas dan menggugat keyakinan bahwa akal mampu menembus hakikat realitas, dunia filsafat berguncang. Pandangannya yang tajam yang menegaskan bahwa hubungan sebab-akibat hanyalah hasil kebiasaan pikiran, bukan kepastian rasional, seolah mencabut fondasi yang selama ini menopang sains dan metafisika. Bagaimana mungkin dunia bisa dimengerti jika segala sesuatu hanya didasarkan pada kebiasaan, bukan kepastian logis?
Pertanyaan ini menggema jauh melampaui zamannya, hingga mencapai telinga seorang filsuf muda di Konigsberg bernama Immanuel Kant. Dalam pengakuannya yang terkenal, Kant mengatakan bahwa Hume telah “membangunkannya dari tidur dogmatis.” Ungkapan itu menandai titik balik dalam sejarah pemikiran Barat, sebuah kesadaran baru bahwa pengetahuan tidak sesederhana sebagai pantulan dunia di dalam pikiran, melainkan hasil kerja kompleks antara pengalaman dan struktur rasional yang sudah ada dalam diri manusia.
Hume, dengan skeptisisme empirisnya, telah menunjukkan bahwa semua pengetahuan berakar pada pengalaman, namun tak satu pun pengalaman dapat menjamin hubungan niscaya antara peristiwa-peristiwa di dunia. Kant menerima tantangan ini, namun ia menolak menyerah pada relativisme yang nyaris nihilistik. Ia bertanya: bagaimana mungkin manusia memiliki pengetahuan ilmiah yang universal dan niscaya, jika semua berasal dari pengalaman yang berubah-ubah? Jawabannya radikal, karena yang memberi bentuk dan keteraturan pada pengalaman bukanlah dunia itu sendiri, melainkan pikiran manusia.
Revolusi Kopernikan
Bagi Kant, ruang dan waktu bukan hasil pengamatan, tetapi bentuk apriori sensibilitas; sebab-akibat bukan hasil kebiasaan, melainkan kategori apriori akal budi. Dengan kata lain, sebelum dunia menampakkan diri kepada kita, pikiran sudah lebih dulu menatanya dalam kerangka tertentu. Dunia yang kita pahami adalah dunia sebagaimana tampak bagi manusia, bukan dunia sebagaimana ada pada dirinya sendiri.
Dari pertemuan inilah lahir apa yang disebut revolusi kopernikan dalam filsafat. Jika sebelumnya pengetahuan dianggap menyesuaikan diri dengan dunia, maka kini dunia harus dipahami menyesuaikan diri dengan struktur kesadaran manusia. Kant tidak menolak empirisme Hume sepenuhnya, tetapi ia memberinya landasan baru, bahwa pengalaman memang sumber pengetahuan, namun struktur akal budi adalah syarat kemungkinan pengalaman itu sendiri. Maka, epistemologi modern menemukan bentuknya, bahwa pengetahuan bukan lagi hasil pengamatan pasif terhadap realitas, melainkan hasil dialog antara manusia dan dunia. Subjek tak lagi sekadar pengamat yang menyalin fakta, tetapi menjadi arsitek pengalaman, pembentuk makna dari segala yang tampak. Dalam pergeseran halus ini, filsafat beralih dari pencarian kepastian di luar manusia menuju kesadaran akan konstruktivitas di dalam diri manusia itu sendiri, sebuah langkah yang mengubah arah sejarah pemikiran untuk selamanya.
Skeptisisme Hume tidak berhenti di abad ke-18. Ia menjelma menjadi roh yang menuntun filsafat sains modern pada abad ke-20. Para pemikir seperti Bertrand Russell, A.J. Ayer, dan kelompok Positivis Logis Wina mengambil semangat Hume dan menggabungkannya dengan logika simbolik. Mereka mewarisi dua pesan utama Hume: a) bahwa semua pengetahuan harus berakar pada pengalaman empiris, b) bahwa segala pernyataan yang tidak bisa diverifikasi oleh pengalaman adalah nonsens. Tidak bermakna secara ilmiah.
Dari sini, epistemologi modern mulai memurnikan diri, yaitu membedakan antara pernyataan ilmiah yang bisa diuji dan klaim metafisik yang tidak bisa diverifikasi. Hume, yang dulu menolak argumen metafisika, kini menjadi bapak spiritual bagi pendekatan ilmiah modern yang berhati-hati, skeptis, dan empiris.
Hume dan Logika Ilmu Pengetahuan
Salah satu warisan paling dalam dan penting dari Hume bagi epistemologi modern adalah masalah induksi, persoalan tentang bagaimana kita bisa menarik kesimpulan umum dari serpihan-serpihan pengalaman terbatas. Kita melihat matahari terbit setiap pagi, lalu menyimpulkan “matahari akan selalu terbit.” Tapi bagi Hume, itu hanyalah kebiasaan, bukan kesimpulan rasional. Tidak ada jaminan logis bahwa masa depan akan menyerupai masa lalu.
Pertanyaan ini menimbulkan krisis bagi filsafat ilmu. Jika induksi tidak memiliki dasar logis, maka seluruh ilmu pengetahuan yang dibangun di atas generalisasi empiris berada di atas tanah yang rapuh. Krisis ini kemudian dijawab atau setidaknya dikelola oleh tokoh-tokoh epistemologi modern seperti Karl Popper, yang mengubah logika sains dari “pembuktian” menjadi falsifikasi. Popper menyadari, berkat Hume, bahwa tidak ada teori yang bisa dibuktikan secara mutlak, yang bisa kita lakukan hanyalah menguji dan mencoba membantahnya. Dengan kata lain, sains tidak mencari kepastian, melainkan kebenaran yang tahan uji sementara. Jadi, skeptisisme Hume bukan penghancur sains, melainkan penyelamatnya, karena ia mengajarkan bahwa pengetahuan harus selalu terbuka terhadap koreksi.
Nada Hume dalam Abad Sains
Epistemologi modern, sejak Hume berubah arah, dari keyakinan pada kepastian menuju kerendahan hati terhadap pengetahuan. Kita tidak lagi bicara tentang kebenaran mutlak, tetapi tentang sistem keyakinan yang bekerja, sejauh ia selaras dengan pengalaman dan bukti. Dalam laboratorium modern, gema Hume terdengar di setiap eksperimen, bahwa hasil hari ini mungkin berbeda dari esok hari, bahwa hipotesis bukan dogma, melainkan dugaan yang harus diuji terus-menerus. Setiap teori ilmiah berdiri di atas pengakuan Hume, bahwa kita tidak pernah tahu dengan pasti, hanya sejauh pengalaman membenarkannya. Dengan kata lain, epistemologi modern adalah skeptisisme yang ditata menjadi metode. Rasa ragu tidak lagi dianggap kelemahan, melainkan disiplin intelektual. Kita dapat belajar dari Hume bahwa keraguan yang jujur jauh lebih berharga daripada kepastian yang palsu.
Satu implikasi menarik lain dari Hume terhadap epistemologi modern adalah gagasan bahwa realitas yang kita pahami selalu dimediasi oleh kesadaran manusia. Jika yang kita alami hanyalah kesan-kesan, maka “dunia” yang kita kenal bukanlah dunia itu sendiri, melainkan proyeksi pengalaman kita atasnya. Pandangan ini menjadi fondasi bagi pemikiran modern tentang representasi, persepsi, dan subjektivitas yang kemudian dikembangkan dalam fenomenologi Husserl, eksistensialisme Sartre, hingga konstruktivisme kontemporer. Dalam cara yang tak langsung, Hume memaksa kita mengakui bahwa pengetahuan bukan cermin realitas, melainkan konstruksi pengalaman.
Namun, di balik semua keraguan dan analisisnya, Hume tetap menyisakan ruang keheningan. Ia tidak pernah berkata bahwa dunia tidak ada, hanya bahwa kita tidak tahu pasti bagaimana dunia itu bekerja di luar kesadaran kita. Ia tidak memusnahkan Tuhan, hanya menyingkirkan jalan akal yang terlalu percaya diri untuk menjangkaunya. Epistemologi modern mewarisi sikap ini, yaitu sikap hormat pada misteri, bukan karena kita menyerah, tetapi karena kita sadar bahwa pengetahuan sejati bukan berarti mengetahui segalanya, melainkan mengetahui batas di mana pengetahuan berhenti.
Penutup
Warisan Hume bukan sistem, melainkan sikap. Ia mengajarkan tiga kebijaksanaan yang tetap relevan di dunia yang mudah tergoda oleh kepastian palsu. Pertama, kausalitas adalah konstruksi ekspektasi, bukan jendela menuju keharusan metafisik. Ia tumbuh dari pola yang berulang, dari kebiasaan yang begitu sering hingga tampak alamiah. Kedua, metafisika yang layak adalah yang sadar diri: yang tahu kapan berbicara tentang pengalaman, dan kapan ia sedang menata bahasa. Filsafat, bagi Hume, adalah pekerjaan kebersihan pikiran, membersihkan kata dari ilusi, menimbang ide sebelum ia menjadi dogma. Ketiga, pengetahuan yang bijak bukan yang berteriak paling keras, melainkan yang paling setia mengukur dirinya dengan bukti. Kerendahan hati epistemik adalah bentuk tertinggi dari rasionalitas.
Hume tidak mengajak kita berhenti percaya, melainkan mengajak kita percaya dengan sadar. Ia mengubah skeptisisme menjadi latihan pernapasan intelektual: menarik keraguan, menghembuskan dogma. Dalam napas yang ritmis itu, filsafat menemukan kembali kebeningannya, bahwa mengetahui tidak selalu berarti memiliki kebenaran, melainkan menjaga jarak dari kepastian agar kita tetap terbuka terhadap kenyataan.
Pada akhirnya, Hume tidak menghancurkan akal; ia menyelamatkannya dari kesombongan. Ia tidak menolak pengetahuan, ia membersihkannya dari klaim yang tak memiliki saksi di dunia. Ia menuntun kita untuk hidup dengan mata yang waspada, bahwa di balik setiap keyakinan ada kebiasaan, di balik setiap teori ada asumsi, dan di balik setiap keraguan ada kemungkinan untuk memahami dengan cara yang lebih rendah hati.
Skeptisisme, pada Hume, bukan bentuk keputusasaan, melainkan nama lain bagi kebijaksanaan yang dilandasi oleh kesabaran. Ia mengajarkan bahwa sesuatu disebut jelas bukan datang dari suara yang lantang dan menggelegar, tetapi dari kesediaan untuk diam sejenak, menimbang, memperhatikan, dan mengakui bahwa di tengah dunia yang terus bergerak, pengetahuan adalah keberanian untuk hidup bersama ketidakpastian dengan kejernihan yang tenang.
Radea Juli A. Hambali, Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung
