BANDUNG Kanal31.com — Di pesantren, hidup dua kultur: Takzim dan feodalisme. Takzim adalah tradisi hormat pada guru, kyai, ulama karena ilmunya, feodalisme adalah penghormatan karena status, gelar, jabatan dan keturunan. Takzim adalah bagian dari adab mencari ilmu. Feodal adalah bagian dari kultur kekuasaan kuno dimana derajat orang dibedakan berdasarkan kelas sosial.
Di banyak pesantren, keduanya seringkali menyatu dan ketika masyarakat Muslim semakin modern dan berpikir makin kritis, batasan keduanya mulai dipertanyakan. Masalahnya, karena banyak kyai-ulama tanpa sadar menikmati penghormatan itu tanpa mengikis unsur feodalismenya.
Untuk mengembalikannya pada jalur yang benar, pesantren perlu memisahkan mana takzim, mana feodalisme. Adab dalam ilmu dan takzim ke guru-ulama adalah ajaran Islam, feodalisme adalah peninggalan tradisi kerajaan Hindu Jawa dan warisan kolonialisme Eropa.
Takzim pada guru-ulama hanya karena satu alasan: Ilmu dan akhlaknya, atau otoritas dan integritasnya. Penghormatan karena status dan keturunannya, apalagi berlebihan, adalah feodalisme. Islam tak mengajarkan penghormatan pada manusia karena status, keturunan, kekayaan dan kebangsaannya.
Rasulullah SAW bersabda, “Wahai sekalian manusia … Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang non-Arab dan bagi orang non Arab atas orang Arab, tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dengan ketakwaan”.
Ketika Abdullah bin Umar, anak Umar bin Khattab, pernah merendahkan temannya dan ingin dihormati karena ia merasa sebagai anak Khalifah, Umar memanggilnya dan menyuruh Abdullah menempelkan kepala dan pipinya ke tanah, lalu menyuruh temannya yang direndahkannya itu untuk menginjak pipi Abdullah bin Umar dengan kakinya. Umar marah dan berkata: “Tidak ada penghormatan dan merasa lebih mulia seseorang dari yang lainnya karena jabatan bapaknya.”
Nabi Muhammad SAW dan Khalifah Umar mengajarkan dan merintis penghapusan feodalisme di dunia Islam. Kemuliaan manusia di hadapan Tuhan hanya satu: ketakwaannya!
Moeflich Hasbullah Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung
