BANDUNG Kanal31.com — Pagi ini saya kayuh sepeda ke kawasan Batununggal, sekadar olahraga kecil. Di mulut jalan tampak berjejer kios-kios makanan sarapan. Ada nasi uduk, bubur, kupat Singaparna dan lain-lain. Saya berhenti di gerobak bu Wilda. Perempuan jelang 40 tahun ini jual serabi, gorengan, dan kopi panas sachetan. Lima serabi dan lima gorengan total Rp 18.000 (delapan belas ribu rupiah). Dengan Qris, saya bayar. Bu Wilda tak perlu cari uang kembalian, saya juga tak usah pegang uang cash 20.000-an. Praktis.
Bu Wilda adalah satu dari sekian juta perempuan pengusaha mikro. Peran mereka sangat besar, tetapi sering luput dari perhatian. Menurut data BPS, lebih dari 60 persen UMKM di Indonesia dijalankan oleh perempuan. Sebagian besar berada di kategori mikro, dengan omzet di bawah Rp300 juta per tahun. Sektor ini menjadi tulang punggung ekonomi keluarga sekaligus penyumbang lapangan kerja lokal.
Namun, karena beroperasi secara informal, akses mereka ke keuangan formal sangat terbatas. Bank ragu memberi pinjaman karena tidak ada jaminan. Data omzet sulit diverifikasi. Potensi mereka besar, tetapi seolah “tak terlihat” di mata sistem.
Di sinilah QRIS berperan. Dengan transaksi yang terekam, perempuan pedagang kecil tak lagi sekadar bagian dari ekonomi kas jalanan, tapi masuk dalam peta ekonomi digital Indonesia. Inklusi keuangan ini pada akhirnya memperkuat posisi perempuan, bukan hanya sebagai penjaga dapur rumah tangga, tetapi juga sebagai aktor ekonomi yang berdaya.
Enam bulan lalu, saya harus sediakan uang cash buat beli serabi ini. Kalau uangnya 100 ribu, dia tak ada kembalian, terpaksa saya belanja dulu untuk dapat kembalian pecahan 10 ribu atau 20 ribu. Rupanya, para pemotor yang rata-rata karyawan menengah ke bawah juga mengusulkan kepada dia agar pakai QRIS. Akhirnya dia bertanya kepada lapak-lapak lain yang sudah pakai teknologi pembayaran ini. Maka dia buka rekening BRI, dan dapat QRIS. Biaya QRIS atau merchant discount rate (MDR) ini 0,3%.
Jadi kalau sehari omset bu Wilda 100 ribu, dia cuma kena potongan Rp 300 rupiah saja. Jadi dia dapat Rp 99.700. Dia tak keberatan. “Enaknya praktis pak. Saya sekarang tahu persis berapa yang masuk. Kalau dulu uangnya campur, jadi tak tahu persis,” katanya. “Cuma kalau pakai QRIS, uangnya baru masuk besok. Dulu repot karena sore kan saya harus belanja persediaan, sekarang mah sudah terbiasa ngatur,” katanya.
Catatan digital ini sederhana, tapi revolusioner. Ia menjadi jejak transaksi (digital footprint) yang sebelumnya tidak ada. Dengan data itu, lembaga keuangan bisa menilai skala usaha Bu Wilda dengan lebih objektif. Jika suatu hari ia ingin memperbesar kios atau menambah modal, catatan QRIS bisa jadi pintu menuju kredit formal.
Dari Informal ke Formal?
Pertanyaannya: apakah dengan QRIS, usaha mikro otomatis menjadi formal? Jawabannya tidak sesederhana itu. Formalisasi ekonomi bukan hanya soal alat pembayaran, tapi soal perizinan, perpajakan, dan akses pembiayaan. Namun, QRIS memberi jalan transisi yang jelas.
Tahap pertama: registrasi merchant. Dengan mendaftar QRIS, Bu Wilda kini tercatat dalam sistem penyelenggara jasa pembayaran. Ia bukan lagi “invisible”. Tahap kedua: pencatatan transaksi. Omzet kiosnya kini dapat ditelusuri. Dari data itu, pemerintah atau bank bisa memetakan potensi ekonomi yang sebelumnya tak terjangkau.
Tahap ketiga: akses pembiayaan. Jejak transaksi bisa menjadi dasar alternatif penilaian kredit. Bu Wilda mungkin tidak punya sertifikat rumah untuk diagunkan, tapi ia punya bukti bahwa kiosnya beromzet stabil. Tahap keempat: integrasi ekosistem formal. Jika kelak ia memiliki NIB (Nomor Induk Berusaha), maka jalur ke pembiayaan KUR atau program bantuan pemerintah terbuka lebih lebar.
Dengan kata lain, QRIS bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan menuju formalisasi. Lebih jauh, QRIS membawa dampak sosial. Banyak perempuan pedagang kecil yang sebelumnya tidak akrab dengan teknologi kini mulai terbiasa. Dari sekadar memindai QR code, mereka belajar membuka aplikasi, memantau saldo, hingga memahami arus kas sederhana. Ini bentuk peningkatan literasi digital yang tidak bisa diremehkan.
Jadi kalau mau negeri ini kuat, teknologi harus diperkenalkan kepada perempuan seperti Bu Wilda. Teknologi bukan lagi milik anak muda atau perusahaan besar. Ia hadir dalam genggaman, membantu menjalankan usaha sehari-hari. Dan lebih penting, memberi rasa percaya diri bahwa usahanya punya nilai di mata sistem formal.
Dari Microcredit ke Microfinance
Dengan QRIS, pemerintah bisa merencanakan kredit mikro berdasarkan database transaksi. Tapi itu tidak cukup, karena negara harus masuk ke microfinance. Microcredit itu hanya hubungan simpan pinjam antara bank dengan nasabah kecil. Microfinance memberikan inklusifitas berlapis, demi keamanan ekonomi kaum perempuan. Ke dalam microfinance kita masukkan juga asuransi dan perlindungan sosial.
Paling tidak, asuransi dulu lah.
Kenapa?
Sektor ekonomi formal berkontribusi dengan membayar pajak dan menciptakan stabilitas melalui pekerjaan tetap dan perlindungan hukum, sementara sektor informal menyumbang melalui penyediaan lapangan kerja yang fleksibel, penyerapan tenaga kerja tak terampil, dan adaptasi terhadap fluktuasi ekonomi. Keduanya saling melengkapi; sektor formal memberikan stabilitas dan pendapatan yang terdokumentasi, sedangkan sektor informal berfungsi sebagai jaring pengaman sosial dengan menyediakan peluang kerja yang lebih mudah diakses.
Kalau mau dipotong untuk asuransi bisnis UMKM, secara konsep mungkin sekali dilakukan, tapi perlu beberapa hal:
1. Skema opsional, bukan wajib.
UMKM bisa diberi pilihan: apakah mau sebagian dari MDR atau tambahan potongan dialihkan ke premi asuransi mikro (misalnya asuransi kebakaran kios, kesehatan dasar, atau perlindungan kecelakaan).
2. Kolaborasi dengan asuransi mikro.
Ada banyak produk asuransi mikro yang preminya murah, bahkan mulai Rp10 ribu–20 ribu per bulan. Potongan kecil dari transaksi QRIS bisa otomatis menjadi premi kolektif.
3. Inklusi keuangan berlapis.
Dengan skema ini, QRIS bukan hanya pintu masuk ke sistem pembayaran formal, tapi juga ke proteksi finansial. Ini penting karena UMKM perempuan seperti Bu Wilda sangat rentan terhadap risiko (sakit, kios kebakaran, kehilangan barang dagangan).
4. Regulasi dan trust.
Harus jelas transparansi: potongan berapa, untuk asuransi apa, dan manfaat yang diterima. Kalau tidak jelas, pedagang kecil bisa menolak karena merasa “dipalak.”
Contoh konkretnya, misalkan omzet Bu Wilda lewat QRIS sehari Rp500 ribu, dengan merchant discount rate (MDR) 0,3% maka potongannya Rp1.500. Kalau dari jumlah itu ada Rp500 yang otomatis masuk ke dana asuransi, maka dalam sebulan ia bisa terkumpul Rp15 ribu–20 ribu. Itu cukup untuk premi asuransi mikro sederhana.
Jadi, QRIS sebenarnya bisa menjadi gateway bukan hanya keuangan formal, tapi juga proteksi sosial bagi UMKM, terutama perempuan. Jadi negara bisa bergerak ke arah inklusifitas ekonomi berlapis. From microcredit to microfinance.
Budhiana Kartawijaya, founde Yayasan Odesa Indonesia
(Tulisan ini saya dedikasikan pada perempuan hebat: ibu saya, seorang guru yang memperkuat penghasilannya dengan menjahit, dan kakak perempuan saya yang memperkuat keluarga kami mulai dari titip makanan kecil di warung, hingga jadi pengusaha catering. And of course Rina Dewi Herlina my wife the banker)
