
BANDUNG kanal31.com — Penasihat Parlemen Iran: “Tangan Amerika Harus Dipotong, Jalannya Lewat Leher Netanyahu!” Whaaaw ….
Saya ingin membongkar psikologi ucapan itu dan memberi makna untuk renungan umat.
Apa yang menarik dari ucapan itu yang dikatakan Iran pada Amerika dan Netanyahu? Jawabannya: Dignity! Self-pride, self-esteem alias harga diri. Harga diri umat. Harga diri umat otomatis berarti harga diri agamanya sebagai agama yang benar (dîn al-haq) dan umat yang terbaik (khaira ummah).
Pantaskah pengikut ‘agama yang benar’ dan ‘umat yang terbaik’ selama ini miskin, terbelakang, ketinggalan, sikap mentalnya lemah, kesadarannya rendah, direndahkan, dipermainkan, dilecehkan oleh umat lain? Tentu saja semuanya tak pantas.
Harga diri berkaitan dengan banyak hal: Kualitas umat, kemajuan, prestasi, kemandirian ekonomi yang tak ngemis dan gemar ngutang, terutama kesadaran moral dan sikap mental. Kurang lebih tiga abad, umat, semuanya ketinggalan, yang tersisa tinggal ajarannya yang paling agung, paling luhur dan paling mulia. Dan selama tiga abad, semua itu tak matching dengan kualitas umatnya yang sedang berada dalam kemunduran.
Harga diri. Inilah yang umat Islam kehilangan beberapa abad sejak mengalami kemunduran dan dominasi peradaban berpindah ke Barat. Kemundurannya sendiri sebagai siklus peradaban, sebagai sunatullah, tak bisa dihindari, harus dialami sebagai pelajaran. Tapi umat harus segera sadar dan mudah-mudahan mulai akan kembali melalui keberanian Iran itu. Kuncinya, umat Islam harus memenangkan perang dan kekuasaan global.
Berkuasanya umat Islam bukan ‘karena,’ ‘untuk’ dan ‘sebagai’ dendam, tapi untuk memenangkan kebenaran dan membuktikan keagungan agamanya sebagai rahmatan lil ‘alamin. Tak seperti selama ini, dunia kacau balau dan rusak oleh human greedy (kerakusan) yang merusak manusia dan alam karena yang berkuasanya bukan ‘ajaran agama yang diturunkan Tuhan sebagai petunjuk keselamatan’ tapi kapitalisme, demokrasi, hedonisme, liberalisme, sekularisme. Semua tumpuannya satu: Syahwat kesenangan dan memuja kesenangan dunia!! Wajar, karena semuanya tak memiliki ajaran hisab di akhirat. Semua ideologi itu hanya untuk kepuasan dunia dan tak ada hubungannya dengan keselamatan di akhirat.
Wajar semua itu menyesatkan, maka umat Islam harus kembali kepada ajaran agamanya. Kembali pada kesadaran agama bukanlah hal yang mudah karena menyangkut kesadaran. Kesadaran ini mahal, untuk memilikinya pun harus berproses lama dengan banyak melakukan perenungan dan berulang-ulang proses kegagalan. Maka, kembali kepada agama, atau umat Islam pada ajaran Islam, tak bisa dipaksakan.
Bila Iran memenangkan perang melawan Amerika Serikat dan Israel di abad ke-21 ini, tak juga otomatis bahwa umat Islam akan mengembalikan harga dirinya. Karena kemenangan perang atau kembalinya dominasi politik hanyalah salah satunya. Itu hanya instrumen kekuasaan. Yang lebih penting adalah kesadaran moral. Tapi, bukan berarti kemenangan politik dan kekuasaan bukan tak penting. Sangat penting! Karena ajaran kebenaran, salah satunya harus dipaksa melalui penguasaan dan kekuasaan. Misalnya, bagaimana para ulama, para ustadz, para mubaligh dan para pendakwah selama ini terus-terusan mengajarkan kebaikan, kesadaran dan kebenaran, tapi sistem sosial, budaya, ekonomi dan politiknya, semua bertentangan dengan seruan dan ajakan kebenaran itu. Disinilah dominasi politik dan kekuasaan menjadi penting yang bisa mengimplementasikan ajaran kebenaran melalui struktur kekuasaan.
Harapan kemenangan Iran, sebagai representasi politik Muslim, atas AS dan Israel, dan katakanlah Islam menjadi penguasa dunia di abad 21, pasti akan akan berdampak pada banyak hal (lepaskan dulu soal Sunni Syi’ah). Maka, dengan dominasi kekuasaan globalnya, secara proses sejarah, tentu kapitalisme akan mengalami koreksi, demokrasi akan mengalami revisi, sekularisme akan dilucuti, hedonisme akan berganti, dst. Akhirnya, seperti yang sudah terjadi dalam sejarah berabad-abad, dunia ini lebih baik berada di tangan kaum Muslimin atas bimbingan wahyu Al-Qur’an dan ajaran Nabi Muhammad SAW, ketimbang dunia modern sekarang yang dikuasai oleh hawa nafsu kekuasaan dan syahwat duniawi yang merusak manusia dan alam: Al-Qur’an sudah menjelaskannya 15 abad yang lalu: “Telah terjadi kerusakan di daratan dan di lautan, disebabkan oleh tangan-tangan manusia.”
Pertanyaannya, akankah umat Islam sekarang ini akan menerima pikiran seperti ini? Jawabannya, tergantung penghayatannya masing-masing pada agamanya yang selama ini dipeluknya. Apakah Islam itu hanya formalitas? Hanya status? Hanya di mulut? Hanya studi dan profesionalisme kajian ilmiah? Hanya tradisi akademik? Hanya karir? Hanya KTP, beriman hanya setengah-setengah? Atau, Islam dihayati sebagai way of life alias jalan hidup? Sistem kehidupan atau sistem peradaban?
Untuk jawaban ini, sebagian umat yang belum menghayati Islam sebagai jalan hidup, tampaknya harus introspeksi bahkan malu, paling tidak pada dua orang yang keduanya bukan Muslim: Orientalis besar H.A.R Gibb dan Rocky Gerung.
Gibb terkenal dalam sejarah mengatakan: “Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization” (Islam sesungguhnya lebih dari sekadar ajaran teologis, tapi sebuah peradaban yang lengkap). Dan Rocky Gerung mengatakan: “Saya ingin negara Islam karena ‘justice,’ konsep keadilannya, lebih mudah dibayangkan ketimbang di ajaran lain termasuk dalam Pancasila.” Dia juga mengatakan, “ideologi saya Islam, muamalah saya adalah Islam.” Apa arti kedua ucapan kedua orang ini? Itulah penghayatan!! Yang jutaan umat Islam justru tak menghayati agamanya seperti kedua “orang kafir” ini. Ya gak masalah, pertanggungjawabannya kelak masing-masing di akhirat, apa arti agama yang kita anut selama ini?
Hubungannya dengan Iran? Ah masa belum paham juga. Ngopilah 😊☕🚬
Moeflich H. Hart, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung